Home » Politik Budaya » Ketika Ludruk Minim Kreatifitas

Ketika Ludruk Minim Kreatifitas

Arsip

“Kemajuan jaman nggak bisa langsung disalahkan,” ujar DS Yono. “Pertunjukkan ludruk makin sepi,” lanjut pemain ludruk asal Malang ini, “lantaran ludruknya sendiri kurang introspeksi agar tontonannya disukai orang.”

Pesona ludruk yang makin pudar bukan hanya dirasakan Yono. Sejumlah seniman ludruk di kota Malang, Mojokerto, Surabaya, dan lainnya nyaris merasakan hal yang sama. Maraknya industri hiburan yang mampu menawarkan aneka macam kesenian populer yang murah meriah dianggap biang keladi hilangnya kesenian drama tradisional khas Jawa Timuran ini. Belum lagi munculnya berbagai media elektronik macam VCD, TV, dan lainnya membuat seniman rakyat juga sulit untuk berkompetisi. Toh kesenian macam itu bisa dinikmati di TV dan VCD tanpa harus keluar kamar, begitu kalimat dalam benak sejumlah orang.

Secara kuantitatif pertunjukan ludruk pada masa Orde Baru, meski pernah mengalami masa-masa sulit dan berkecenderungan terus menurun, memperlihatkan jumlah yang lumayan tinggi. Di seluruh Jawa Timur misalnya pada tahun 1984/1985 jumlah perkumpulan ludruk mencapai 789. Sedangkan jumlah seniman yang aktif naik panggung sebanyak 22.286 orang, dengan jumlah pentas sebanyak 14.0004 kali. Setahun kemudian, pada periode tahun 1985/1986, perkumpulan ludruk berjumlah 771, dengan 10.119 kali pementasan yang melibatkan sekitar 15.431 orang pemain aktif. Tahun berikutnya, pada tahun 1987 jumlah perkumpulan ludruk terus menyusut menjadi 621 grup. Pada 1988 tinggal 525 grup dengan jumlah pementasan selama setahun yang hanya tinggal 8.103 kali (Supriyanto, Surya, 18 Mei 1991).

Bisa jadi, momen inilah yang memutus rantai panggung ludruk dengan dinamika sosial dengan segala hiruk pikuknya

Gerak zaman mustahil diputar kembali, begitu pikir Yono, sehingga dampak kemajuan ini juga tak perlu disesali termasuk semakin turunnya antusiasme penonton yang dulu membludak mengantri karcis pertunjukan. Karena itulah, dalam benaknya, ludruk sendiri harus introspeksi.

Pemadatan

Salah satu bentuk kreatifitas itu agar durasi pertunjukan ludruk dipadatkan. Jika biasanya pentas ludruk dimulai dari jam 9 malam hingga menjelang subuh, ludruk baru tidak bisa lebih dari 2 jam saja. “Pemendekan itu penting agar pertunjukan lebih efektif, tidak membuang-buang waktu pemainnya, juga waktu penonton yang esoknya harus kembali bekerja,” ujarnya beralasan.

Gagasan Yono mengenai pemendekan waktu pertunjuk ludruk tersebut rupanya diamini oleh seniman ludruk lainnya, seperti Soewito. Seniman yang tak lekang diterjang derasnya kemajuan ini berhasil menciptakan pertunjukan ludruk berdurasi pendek. “Orang sekarang ini butuh hiburan, yang temponya tak terlalu lama. Jadi pementasan ludruk harus bisa menjawab dan membaca kebutuhan ini,” ujar seniman ludruk yang mengaku tak perlu meninggalkan tahap-tahap seperti ngremo dan kidungan dalam pertunjukannya.

Berulang kali Cak Wito, demikian panggilan akrabnya, mewujudkan gagasannya dengan melibatkan para pemain teater hasil didikan kampus-kampus di Malang. Sambutan penonton pun lumayan meriah. Sayang usahanya terhenti lantaran terkendala besarnya modal. Beruntung ludruk pendek kreasinya masih rutin pentas di salah satu stasiun TV swasta di Surabaya bersama Kartolo.

Sistem juragan Pemegang Kendali

Dana besar dalam sekali pentas rupanya juga menjadi kendala ludruk tiba-tiba menghilang dari pasaran. Dengan biaya sebesar 7-8 juta rupiah sekali pentas tidak semua orang mampu mengelola dan menanggap ludruk. Karena itu ludruk banyak dikelola dengan sistem juraganan ketimbang organisasi paguyuban.

Menurut Soewito, sistem juraganan sudah berdiri sejak 1977 ketika militer kala itu mulai melepaskan cengkeramannya dalam setiap kepemimpinan grup. Ludruk dimiliki oleh bos-bos atau juragan-juragan kaya yang berkuasa penuh dalam manajemen maupun penentuan alur cerita pementasan. “Ludruk sulit mandiri karena dominasi juragan,” ujar Cak Wito.

Apakah lantaran dikelola model juraganan itu pula, seniman ludruk miskin kreatifitas?

Sulit memastikan. Tapi bila hendak dibandingkan dengan pengelolaan ludruk komunitas, menurut Cak Wito, model organisasi yang amat populer di masyarakat sebelumnya lebih independen dan demokratis. Ludruk mencerminkan dinamika dan nasib para senimannya yang seiya dan sepenanggungan, sekaligus kerap menjadi corong kritik sosial dalam masyarakat.

Saat ini nyaris tidak ditemukan ludruk dengan sistem kelola model organisasi. Mayoritas pengelolaan ludruk menerapkan manajemen juraganan.

Cerita lain diungkapkan pemimpin ludruk “Karya Budaya” asal Mojokerto akhir 2006 lalu di Malang. Edi Karya, nama pemimpin grup tersebut, membantah bahwa sistem ludruk juraganan yang ia pimpin dikendalikan dirinya semata. “Meski juraganan, tapi grup ini kami kelola dengan sistem organisasi. Semua orang yang terlibat dan menjadi anggota serasa memiliki saham bersama untuk membesarkan grup,” ujar pria yang juga mengaku memungut biaya penyusutan dan perbaikan peralatan main yang dimilikinya sekitar 5-8 juta rupiah.

Begitulah, lepas dari siapa yang paling diuntungkan dari beragam bentuk manajemen sebuah ludruk, lebih banyak grup yang kini masih bertahan adalah sistem juraganan. Seperti diungkapkan oleh sejumlah seniman beberapa waktu lalu, keberadaan juragan dalam ludruk di satu sisi menolong kelangsungan ludruk tapi di sisi lain seringkali mengurangi otonomi seniman di atas panggung.[TIM DESANTARA]

*Dimuat di HARIAN SURYA Surabaya, Minggu, 6 Mei 2007. Kerjasama YAYASAN DESANTARA, TANTULAR dan HARIAN SURYA. Bisa diakses di: http://desantara.org


Leave a comment

Pengunjung

  • 206,233 hits

Kalender

May 2007
M T W T F S S
 123456
78910111213
14151617181920
21222324252627
28293031  

“Quotation”

"Invented traditions have significant social and political functions... The intention to use, indeed often to invent, them for manipulation is evident; both appear in politics, the first mainly (in capitalist societies) in business." (Eric Hobsbawm, The Invention of Tradition, 1996)

Peta Pengunjung

Top Clicks

  • None