Home » Politik Budaya » Ketika Sinrilik Berdialog dengan Islam

Ketika Sinrilik Berdialog dengan Islam

Arsip

Oleh: Mh. Nurul Huda & Syamsurijal Adhan

Eeeee…..tunimalo sengka sako, Eroka la makuta’nang, Apa lanrinna, Na kimenteng assumbajang// Nakimenteng assumbajang, Ka….sumbajang ni battui, Rupa tau kasumbajang memang todong//. (Wahai orang yang lewat, singgahlah sebentar, ada hal yang ingin kutanyakan, apa gerangan hingga kita harus mendirikan sembahyang// Wahai, ketahuilah, kita mendirikan sembahyang, karena suatu saat sembahyanglah yang akan menjadi tujuan kita, dan ketahuilah, sosok manusia, dirinya adalah sembahyang).

Tidak lazim memang, menyajikan ceramah agama dalam lirik-lirik sinrilik. Bukan hanya dalam Islam tapi juga dalam tradisi sinrilik sendiri. Barangkali hanya H. Sirajuddin Bantam yang berani melakukan. Seperti yang ia lakukan di hadapan ratusan jamaah di sebuah mesjid, bulan puasa lalu. Lirik-lirik bersyair di atas adalah catatan dari ceramahnya yang disajikan dengan cara massinrilik.

Nampak jelas para jamaah itu menikmati kalimat-kalimat bijak berbalut nilai-nilai spiritual Sirajuddin dalam irama sinrilik yang melantun indah. Sesekali mereka mengangguk. Kadang mereka dibuat terpingkal mendengar cerita sinrilik yang mengundang tawa.

Sinrilik, selama ini memang jarang, kalau bukan malahan tak pernah ditampilkan dalam ceramah semacam itu. Umumnya salah satu seni tradisi lisan orang-orang Makassar ini dibacakan pada saat-saat tertentu, seperti menjelang pendirian rumah baru. Dalam bahasa Makassar acara seperti ini disebut “akmata benteng”, yang bertujuan untuk mencegah maksud-maksud jahat dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Selain itu, sinrilik dipakai dalam acara-acara ritual keluarga seperti perkawinan, khitanan, dan lain-lain, atau dalam acara-acara yang ditujukan sebagai pernyataan syukur kepada Tuhan.

Dengan diiringi alat musik kesok-kesok atau sejenis rebab, seorang passinrilik atau pemain sinrilik menyanyikan suatu cerita yang tersusun secara puitis. Biasanya passinrilik ia oleh seorang komentator, sementara para penonton melontarkan tanggapan secara spontan, kadang penuh humor. Interaksi langsung antara passinrilik dan penonton inilah yang membuat nyanyian sinrilik terlihat menarik, berbeda dengan genre seni lainnya.

Secara psiko-antropologis sebagaimana dilukiskan Anderson Sutton, kesenian sinrilik seringkali dianggap mencerminkan karakter dasar orang Makassar yang penuh emosi. Cerita-cerita sinrilik, terutama dalam lirik lagu bosi timurung mewakili kepedihan yang dikaitkan dengan subordinasi Belanda, Bugis dan juga sejak 1945, orang-orang Jawa. Oleh sebab itu, hampir sebagian besar cerita sinrilik yang pernah ditulis banyak bercerita mengenai perang, heroisme, intrik dan seterusnya.

Tidak ada catatan yang pasti bagaimana perkembangan sinrilik pada masa-masa yang lalu. Yang jelas sinrilik berubah menjadi alat propaganda pemerintah Orde Baru di tahun-tahun 70-an dan 80-an. Pesan-pesan pemerintah untuk menyukseskan pembangunan dan menjaga stabilitas tiba-tiba muncul dalam berbagai jenis sinrilik. Seperti Sinrilik KB (Keluarga Berencana), Sinrilik Pamiliang Umunga (pemilihan umum), dan Sinrilik P4.

Memang benar propaganda Orde Baru ini berhasil menjangkau rakyat Makassar sampai di tingkat bawah. Namun bukan berarti kesuksesan lantas membuat kesenian sinrilik semakin diminati dan digemari. Sebab ironisnya justru sinrilik macam itu justeru gagal memikat hati penonton. Keberhasilan sebagai media propaganda ternyata tidak paralel dengan tumbuhnya vitalitas sinrilik di kalangan masyarakat.

Tercatat baru pada akhir tahun 1990-an, sinrilik mulai dilihat orang. Ini tak lepas dari peran RRI dan TVRI lokal yang memberikan ruang siaran sinrilik yang tentu saja dengan berbagai penyingkatan dan pemadatan. Di antaranya yang waktu itu sempat memunculkan tokoh passinrilik macam Mappaselleng Daeng Maggau dan Sirajuddin Daeng Bantang.

Setelah beberapa tahun sinrilik kurang menarik minat masyarakat dan nyaris dilupakan, kini sinrilik ditampilkan dalam ceramah-ceramah agama sebagaimana nampak baru-baru ini. Berceramah sambil bersinrinlik ria memang nyaris tidak lazim. Tapi kini, bagi sebagian masyarakat Gowa, rupanya cara berdakwah macam ini justru mulai mungundang perhatian. Bukan sekadar ungkapan-ungkapannya yang halus dan sarat dengan makna. Pendengarnya pun tak merasa digurui atau diperintah ini-itu oleh isi ceramah. Mereka justeru diajak masuk dalam pengalaman-pengalaman kehidupan yang kompleks dan cerita-cerita sinrilik yang menggugah dan berlirik apik.


Berdialog dengan Islam

Bagi Sirajuddin mendendangkan sinrilik dalam ceramah mungkin tidak masalah. Tidak begitu halnya dengan suara-suara mayoritas. Sinrilik oleh sebagian kalangan dianggap sebagai bagian dari kepercayaan kuno masyarakat Bugis-Makassar yang harus diberantas. Pasalnya, sinrilik dianggap berasal dari tradisi lisan zaman animisme seperti Pasang, Attoriolong, Pau-Pau Rikadong, atau Panruntu kana.

Pandangan semacam ini memang makin marak di kalangan sejumlah agamawan. Seorang da’i terkemuka yang anggota majlis tarjih Muhammadiyah, Syukri dg Limpo, misalnya, menyatakan tradisi sinrilik tidaklah Islami. Katanya, sinrilik menggunakan alat-alat kesenian yang menyerupai kesenian agama lain ataupun kepercayaan animisme.

Syukri memang tidak sendirian. Pada akhir Maret tahun lalu, salah satu organisasi Islam di Sul-sel yang sedang gencar mendengungkan formalisasi Syariat Islam dalam kongresnya merekomendasikan agar pemerintah menghapus seni tradisi yang bermuatan (salah satunya) mistik. Memang tidak ada keterangan detil mengenai kesenian mistik itu. Namun bisa diduga yang dimaksudkan adalah seni tradisi yang dalam pertunjukannya menggunakan unsur-unsur mistik.

Tuntutan dari sejumlah ormas Islam seperti ini memang membuat sejumlah pejabat pemerintah Gowa gentar dan berada dalam dilema. Kepala Dinas Parawisata Gowa, Drs Rimba Alam A. Pangeran misalnya. Ia menyatakan rasa ketidakberdayaannya menghadapi berbagai desakan ini.

“Kita harus berhati-hati dalam memilih kesenian tradisi yang mau diangkat, karena bisa-bisa kita dituduh sedang mengembangkan kesenian yang berbau khurafat, musyrik dan bid’ah,” demikian ujarnya kepada DESANTARA sambil menyesalkan tuntutan sekelompok Islam puritan yang sebenarnya datang dari kota Makassar.

Rupanya di tengah berbagai hujatan, kecaman dan sinisme inilah tampaknya komunitas sinrilik berusaha menunjukkan eksistensinya. Mereka seolah hendak menepis anggapan miring tentang dirinya. Bahkan, bagi mereka, sinrilik adalah bagian dari seni tradisi rakyat Makassar yang tidak kalah Islami dibandingkan dengan kasidah. Sinrilik bahkan bisa menjadi media untuk menyampaikan ajaran-ajaran Islam, seperti ditampilkan Sirajuddin saat berceramah di mesjid.

Untuk membuktikan pernyataannya, Sirajuddin menceritakan kisah Syekh Yusuf yang dalam dakwahnya menggunakan bait-bait sinrilik yang dibuatnya sendiri. Toengngi bambo, Toengngi tanre, rappona, tanre rappona tanre pakdengka-dengkana, yang artinya: berayun-ayun si bambo, berayun-ayun tidak ada rapponya, tidak ada rappo tidak ada pemukulnya.

Sepintas lalu bait sinrilik yang konon pernah dinyanyikan Syekh Yusuf ini memang tidak ada kaitannya dengan Islam, karena hanya menceritakan kehidupan sehari-hari orang Makassar saat itu yang tengah mengunduh tuak dari pohon aren. Akan tetapi, ujar Sirajuddin, bila ditelisik lebih jauh didalamnya memuat ajaran Islam yang sesungguhnya yakni keharusan menyelami hakikat agama agar tidak terombang-ambing. Hanya saja, menurut Sirajuddin, hal itu tidak bisa dipahami kalau hanya menggunakan syariat yang formal tanpa menelisik ke ruang hakikat.

Memang tak bisa dimungkiri, di tengah meruyaknya ceramah-ceramah panas belakangan ini, kehadiran sinrilik rupanya menawarkan kesejukan tersendiri di tengah-tengan komunitas Islam. Selain tentu saja, sambutan meriah atas sinrilik telah menerbitkan secercah harapan tumbuhnya gairah hidup salah satu tradisi lisan paling berpengaruh di Sulsel ini. [Liputan: Syamsurijal Adhan]

Dimuat di Harian Fajar Makassar, Oktober 2006


Leave a comment

Pengunjung

  • 206,237 hits

Kalender

October 2006
M T W T F S S
 1
2345678
9101112131415
16171819202122
23242526272829
3031  

“Quotation”

"Invented traditions have significant social and political functions... The intention to use, indeed often to invent, them for manipulation is evident; both appear in politics, the first mainly (in capitalist societies) in business." (Eric Hobsbawm, The Invention of Tradition, 1996)

Peta Pengunjung

Top Clicks

  • None